Kamis, 22 Oktober 2015

LAPORAN TPP

                                                             BAB I
PENDAHULUAN
Pengolahan pakan merupakan suatu kegiatan untuk mengubah bahan pakan tunggal menjadi bahan pakan baru atau pakan olahan. Bahan pakan baru yang dihasilkan dari proses pengolahan diharapkan mengalami peningkatan kualitas bahan pakan serta berupaya meningkatkan kandungan nutrisi tersebut dengan beberapa perlakuan, seperti silase, amoniasi, fermentasi maupun gabungan antara amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi dengan penggunaan urea yaitu sebagai sumber amoniak yang dicampurkan ke dalam bahan. Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk menghancurkan ikatan-ikatan lignin, selulosa dan silika yang terdapat pada bahan pakan. Silase dengan menggunakan teknologi silase merupakan suatu proses fermentasi mikroba merubah pakan menjadi meningkat kandungan nutrisinya (protein dan energi) dan disukai ternak karena rasanya relatif manis dan dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama dan fermentasi merupakan proses anaerob (tanpa bantuan oksigen) untuk mengawetkan bahan pakan.
Tujuan dari praktikum Teknologi Pengolahan Pakan adalah mampu membuat awetan hijauan segar seperti silase, amoniasi, fermentasi, dan amofer serta mampu memilih bahan-bahan yang bisa dibuat awetan hijauan segar. Manfaat yang dapat diambil yaitu dapat mengimplementasikan secara langsung di kehidupan sehari-hari serta mampu menilai kualitas bahan segar awetan dan pengolahan yang baik.
BAB II
MATERI DAN METODE
            Praktikum Tekonogi Pengolahan Pakan dengan materi silase, amoniasi dan fermentasi dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 6 April 2015 pukul 07.00 – 09.00 WIB. Praktikum dengan materi amoniasi fermentasi dilakukan pada hari Senin, 27 April 2015 pukul 07.00-09.00 WIB, bertempat di Laboratorium Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

2.1. Materi


            Bahan yang digunakan dalam praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dengan materi silase, amoniasi, fermentasi dan amofer yaitu rumput lapang sebagai bahan pakan yang diolah secara silase, sekam sebagai bahan pakan yang diolah secara amoniasi, fermentasi dan amoniasi fermentasi, air yang digunakan sebagai campuran dalam proses amoniasi fermentasi, molases sebagai bahan pengawet sumber karbohidrat, urea dan biostater sebagai bahan tambahan untuk proses amoniasi dan fermentasi. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum yaitu pisau dan gunting yang digunakan untuk memotong bahan pakan, timbangan untuk menimbang bahan pakan, nampan sebagai wadah bahan pakan dan sebagai alas saat mencampur bahan pakan, plastik sebagai tempat untuk pemeraman, lakban untuk merekatkan bahan pakan yang sudah didalam plastik, pH digital yang digunakan untuk mengukur pH pakan, label yang digunakan  untuk memberikan tanda pada plastik dan alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.

2.2. Metode


2.2.1. Silase
            Metode dalam pembuatan silase yaitu dengan memotong bahan pakan yaitu rumput lapang. Menimbang bahan pakan yang sudah dipotong sebanyak 300 gram. Menambahkan zat aditif berupa molases yang sebelumnya telah dihitung jumlahnya. Mencampur bahan pakan dengan molases sampai homogen. Membagi campuran molases dan bahan pakan menjadi 3 bagian. Melakukan uji organoleptik yang meliputi bau, warna, tekstur dan pH. Memasukan bahan tersebut dalam plastik. Memadatkan dan membungkusnya dengan solasi sehingga tidak ada udara yang masuk. Memberi label dan mencatat hasil uji organoleptik. Melakukan Uji organoleptik setiap 1 minggu sekali sampai minggu ke III dan mencatat hasil pengamatan. Pengamatan yang terakhir pada hasil pengamatan dalam tabel serta melakukan perhitungan total skor kualitas silase dan mencatat pada buku.
2.2.2. Amoniasi
            Metode dalam pembuatan amoniasi dengan bahan pakan sekam yaitu mengambil sekam dan meletakkan di nampan. Menimbang sekam tersebut sebanyak 600 gram. Melarutkan urea yang telah dihitung jumlahnya yaitu sebanyak 26 gram dalam air. Mencampurkan sekam dengan larutan urea sampai homogen. Melakukan uji organoleptik meliputi bau, warna, tekstur dan pH. Membagi campuran sekam tersebut menjadi 6 bagian dan memasukkan dalam plastik. Membungkusnya dengan solasi sehingga tidak ada udara yang masuk. Memberi label dan melakukan uji organoleptik setiap 1 minggu sekali selama 3 minggu. Mencatat hasil pengamatan. Pengamatan terakhir melakukan perhitungan total skor kualitas amoniasi.

2.2.3. Amoniasi Fermentasi
            Metode dalam praktikum pengolahan bahan pakan dengan cara amoniasi fermentasi yaitu membuka 3 bungkus sekam yang telah melalui proses amoniasi dan meletakkan diruangan terbuka agar bau amoniaknya sedikit hilang. Menghitung jumlah air yang harus ditambahkan dan mencampur. Menimbang molases sebanyak 15 gram. Menimbang biostater sebanyak 6 gram. Mencampur urea biostater dan molases. Mencampurkan sekam dengan campuran urea air dan molases sampai homogen. Melakukan uji organoleptik yang meliputi bau, warna, tekstur dan pH. Mencatat hasil uji organoleptik dalam tabel. Membagi campuran jerami padi tersebut menjadi 3 dan memasukkannya dalam kantong plastik. Memadatkan hingga tidak ada udara yang masuk dan membungkusnya dengan solasi. Memberi label pada masing-masing kantong plastik. Melakukan uji organoleptik setiap 1 minggu sekali selama 3 minggu dan mencatat hasil pengamatan, dan pada pengamatan terakhir melakukan perhitungan total skor kualitas.


2.2.4.  Fermentasi
            Metode dalam pengolahan bahan pakan secara fermentasi adalah dengan memotong bahan pakan, menimbang bahan pakan yaitu sekam sebanyak 300 gram dan mengambil air 550 ml. Menambahkan 6 gram molases dan 6 gram biostater. Mencampur secara rata sehingga homogen. Membagi menjadi 3 bagian. Melakukan uji organoleptik yang meliputi warna, tekstur, bau dan pH. Mencatat hasil uji organoleptik dalam tabel. Memasukkan dalam kantong plastik. Memadatkan sehingga tidak ada udara yang masuk dan membungkusnya dengan solasi. Memberi label pada setiap plastik. Melakukan uji organoleptik setiap 1 minggu sekali selama 3 minggu dan pada pengamatan terakhir dilakukan perhitungan total skor kualitas fermentasi. Mencatat hasil pengamatan.



BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.            Silase
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan hasil pengamatan silase disajikan pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Silase

Kriteria
Minggu 0
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Skor
Tekstur
Sedang
Sedang
Sedang
Lembek
4
Warna
Tampak warna hijauan
Hijau seperti daun direbus
Hijauan kecoklatan
Hijauan seperti daun direbus

6
Bau dan rasa
Sedang
Busuk dan merangsang
Busuk dan merangsang
Busuk dan merangsang

3,25
Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
5
Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Ada tepi
Ada tepi
6
pH
6,03
5,68
6,54
6,57
1
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2015.
3.1.1.      Tekstur
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil pada minggu ke 0 bertekstur sedang, minggu ke I silase memiliki tekstur sedang, minggu ke II sedang, dan minggu III tekstur silase mengalami perubahan menjadi lembek. Hal ini menunjukkan bahwa silase memiliki tekstur yang kurang baik. Perubahan tekstur pada silase rumput lapang dapat disebabkan karena kadar air hijauan pada saat dibuat silase masih cukup tinggi, atau juga pemadatan yang kurang sehingga jamur dapat tumbuh di dalam silase dan membuat tekstur menjadi lembek. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo et al. (2013), yang menyatakan bahwa tekstur yang dihasilkan pada silase lembek dapat dipengaruhi oleh pemadatan yang kurang dan kandungan air dalam tanaman pakan masih tinggi saat digunakan. Vidianto dan Emil (2011), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh  dalam pembuatan silase, yaitu jenis hijauan yang cocok dibuat silase, penambahan zat aditif untuk dapat meningkatkan kualitas silase, dan kadar air yang tinggi, yang dapat berpengaruh besar dalam pembuatan silase.

3.1.2.      Warna
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil yaitu warna silase pada minggu ke 0 yaitu tampak warna hijauan, minggu ke I yaitu hijau seperti daun direbus, minggu ke II yaitu hijau kecoklatan, dan pada minggu ke III warnanya hijau seperti daun direbus. Perubahan warna hijauan menjadi hijau seperti daun direbus menunjukan bahwa silase tidak baik. Perubahan warna yang terjadi karena pada tanaman mengalami proses ensilase yang disebabkan karena proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai gula yang terkandung dalam tanaman habis. Gula akan teroksidasi menjadi CO2, air dan panas, sehingga temperatur naik. Temperatur yang tinggi menyebabkan silase akan berwarna coklat tua sampai berwarna hitam. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo et al. (2013), yang menyatakan bahwa temperature yang tidak terkendali menyebabkan warna berubah menjadi coklat tua sampai kehitaman dan menyebabkan turunnya nilai  pakan  karena banyak sumber karbohidrat yang hilang dan  kecernaan protein turun. Hidayat (2014), menyatakan bahwa warna silase yang baik adalah coklat terang kekuningan dengan bau asam.

3.1.3.      Bau
Berdasarkan pengamatan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu bau silase pada minggu ke 0 sedang, minggu ke I, minggu ke II dan minggu ke III bau silase berubah menjadi busuk dan merangsang. Hal ini menunjukkan bahwa silase yang dihasilkan mempunyai kualitas yang kurang baik. Perubahan bau dari sedang menjadi busuk dan merangsang disebabkan karena pemadatan yang kurang sehingga masih terdapat rongga udara didalamnya. Udara dalam plastik akan digunakan tanaman pakan untuk respirasi yang menghasilkan panas sehingga terjadi penguapan. Penguapan menyebakan terjadinya penggumpalan dan jamur yang membuat aroma menjadi busuk. Bau busuk pada silase juga dapat disebabkan karena aktifitas mikroba yang berlebihan sehingga menghasilkan bau yang tidak enak. Hal ini sesuai dengan pendapat Wisnu (2009), yang menyatakan bahwa  bau busuk pada silase disebabkan oleh mikroba berlebih yang dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunanya menjadi alkohol, asam dan CO2 dan mikroba preotelik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginkan. Vidianto dan Emil (2011), menambahkan bahwa ciri silase yang baik adalah memiliki rasa dan bau asam tetapi segar dan enak.


3.1.4.      Jamur
Berdasarkan pengamatan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pada pengamatan minggu ke 0 terdapat jamur, minggu I tidak terdapat jamur, dan minggu ke III terdapat jamur di tepi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase kurang baik. Adanya jamur pada silase disebabkan karena adanya ruang udara pada plastik. Adanya udara dapat disebabkan karena pemadatan yang kurang sempurna sehingga jamur dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo et al. (2013), yang menyatakan bahwa Jamur dapat tumbuh karena terdapat udara dalam silo yang dapat disebabkan karena pada proses pemadatannya kurang sempurna atau karena ada kebocoran dalam silo. Supriyantono dan Santoso (2010), menyatakan bahwa proses pemadatan silase yang baik dapat dilihat dari banyak sedikitnya jamur pada silase.

3.1.5.      Penggumpalan

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pada pengamatan minggu ke 0 tidak terdapat penggumpalan, minggu ke I tidak terdapat penggumpalan, minggu ke II terdapat penggumpalan, dan minggu ke III terdapat penggumpalan pada daerah sekitar jamur. Penggumpalan pada silase menunjukan bahwa silase rumput lapang kurang baik karena dimungkinkan adanya rongga udara pada silase. Rongga udara dimanfaatkan tanaman untuk respirasi yang menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan menyebabkan pengembunan pada plastik, sehingga terjadi penggumpalan. Hal ini sesuai dengan pendapat           Lado (2007), yang menyatakan bahwa penggumpalan disebabkan karena pemadatan yang kurang sempurna. Sianipar dan Simanihuruk (2009), menyatakan bahwa kerusakan (menggumpal) terjadi karena pemadatan bahan yang kurang sempurna sehingga masih terdapat udara yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme aerob untuk beraktifitas.

3.1.6.      pH
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa pada pengamatan minggu ke 0 silase rumput lapang memiliki pH 6,03, minggu ke I dengan pH 5,68, minggu ke II dengan pH 6,54, dan minggu ke III dengan pH 6,57. Hasil ini menunjukan bahwa silase rumput lapang kurang baik sebab silase yang baik bersifat asam dengan pH berkisar antara 3-5. Bersifat asam karena bakteri dalam silase akan menghasilkan asam laktat, sehingga pH silase turun atau menjadi asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermanto (2011), bahwa silase yang baik berkisar pada pH 4,3 - 4,4 sedangkan silase yang tidak baik pH berkisar lebih dari 4,4. Santoso (2010), menyatakan bahwa peningkatan bakteri asam laktat menyebabkan meningkatnya konsentrasi asam laktat dan menurunnya pH.


3.2.      Fermentasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan fermentasi disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Fermentasi

Kriteria
Minggu 0
 Minggu I
Minggu II
Minggu III
Skor
Tekstur
Agak remah
Agak remah
Remah
Remah
7-9
Warna
Kuning Kecoklatan
Kuning Kecoklatan
Kuning Kecoklatan
Kuning Kecoklatan
4-6
Bau
Asam
Asam
Amonia
Amonia
1-3
Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
7-9
Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
7-9
pH
5,25
8,45
8,14
8,65
7-9
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2015.


3.3.1.   Tekstur
            Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dalam pembuatan fermentasi sekam diketahui perubahan tekstur dari minggu ke 0, sampai dengan minggu ke IV sampel mengalami perubahan warna dari agak remah menjadi remah. Hal ini menunjukkan bahwa hasil fermentasi pakan yang baik. Perubahan tekstur menjadi remah dikarenakan didalam pakan terjadi proses fermentasi yang merombak sekam yang bertekstur keras secara fisik menjadi lebih lunak sehingga mempermudah daya cerna ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat                           Gustiani et al. (2007), yang menyatakan bahwa ciri-ciri dari fermentasi pakan yang baik yaitu memiliki tekstur yang lunak dan tidak kaku. Perubahan tekstur pada proses fermentasi juga dapat dipengaruhi oleh mikroorganisme pemecah ikatan lignoselulosa. Munier et al. (2012), menyatakan bahwa penambahan mikroorganisme dalam fermentasi menyebabkan pemutusan rantai ikatan lignoselulosa yang memiliki kemampuan memecah serat dan memperkaya protein.

3.3.2.  Warna
            Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dalam pembuatan fermentasi sekam diketahui perubahan warna dari minggu ke 0 sampai dengan minggu ke III sampel tidak mengalami perubahan warna yaitu tetap kuning kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas fermentasi pakan baik. Perubahan warna pada pakan yang difermentasi diakibatkan karena lama penyimpanannya, semakin lama penyimpanan warna akan berubah. Selain itu warna pada pakan yang difermentasi dipengaruhi oleh oksigen dalam plastik yang disebabkan karena proses pemadatan yang kurang sempurna. Bila terdapat oksigen dalam pakan yang difermentasi maka jamur akan tumbuh dan menyebabkan perubahan warna menjadi coklat sampai hitam. Hal ini sesuai dengan pendapat Gustiani et al. (2007), yang menyatakan bahwa ciri-ciri dari fermentasi yang baik yaitu memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut               Bekti dan Sugandi (2005), yang menyatakan bahwa perubahan warna pada pakan dapat dipengaruhi oleh lama fermentasi.



3.3.3.   Bau
            Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dalam pembuatan fermentasi sekam diketahui pada minggu ke 0 berbau asam, minggu ke I berbau asam, minggu ke II berbau amonia dan minggu ke III berbau amonia. Hasil fermentasi ini termasasuk kurang baik. Fermentasi pakan yang baik memiliki bau yang asam. Bau amonia pada proses fermentasi yang diakukan dapat disebabkan karena penambahan urea dalam pakan yang difermentasi. Urea dalam pakan akan mengalami proses ureolisis yaitu proses penguraian urea menjadi amonia, sehingga menyebabkan aroma bau pada pakan yang difermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gustiani et al. (2007), yang menyatakan bahwa hasil fermentasi yang baik akan memiliki bau asam dan harum yang menyerupai bau tape. Sumarsih (2011), menyatakan bahwa penambahan urea pada bahan pakan dapat menghasilkan gas amonia.

3.3.4.   Jamur
            Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa tidak terdapat pertumbuhan jamur dari pengamatan minggu ke 0 sampai dengan minggu ke III. Hasil ini termasuk fermentasi baik karena tidak terdapat jamur dalam plastik. Hal ini dipengaruhi karena penyimpanan bahan pakan yang difermentasi dalam keadaan anaerob, sehingga jamur tidak bisa tumbuh karena oksigen dalam proses fermentasi digunakan untuk jamur tumbuh. Menurut Kunaepah (2008), ada beberapa faktor yang mempengaruhi fermentasi dapat terjadi secara optimal yaitu antara lain substrat, suhu, pH, oksigen, dan mikroba yang digunakan. Menurut Simbolon (2008), menyatakan bahwa dalam proses fermentasi udara yang masuk justru akan menumbuhkan jamur dan hendaknya fermentasi dilakukan dalam kondisi anaerob.

3.3.5.   Penggumpalan
Berdasarkan hasil praktikum pembuatan fermentasi pada sekam diperoleh hasil yaitu minggu ke 0 sampai minngu ke III tidak terdapat penggumpalan dalam plastik. Hasil fermentasi ini baik karena tidak terdapat penggumpalan dalam plastik. Hal ini disebabkan karena dalam pakan yang di fermentasi tidak terdapat oksigen yang digunakan jamur untuk tumbuh. Tidak andanya jamur yang tumbuh dalam pakan menyebabkan penggumpalan tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Utami (2008), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi fermentasi meliputi suhu, pH, oksigen dan waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat              Sumarsih et al. (2009), yang menyatakan bahwa penggumpalan merupakan pembentukan gel asam amino yang merupakan komponen sederhana sebagai penyusun protein yangt dibantu dengan adanya udara dari luar.

3.3.6.   pH
            Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data pengamatan bahwa hasil fermentasi pH pada minggu ke 0 sebesar 5,25 , mingguke I sebesar 8,45 ,minggu ke II turun menjadi 8,14 ,dan pada minggu ke III naik menjadi 8,65. Proses fermentasi yang dilakukan pada praktikum ini menghasilkan pH yang tinggi dengan kondisi basa. Proses fermentasi yang dihasilkan ini kurang baik dimana memiliki pH basa. Kondisi pH dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu persentase pemberian starter dan urea serta lama fermentasi yang dilakukan pada bahan pakan. Semakin banyak starter yang ditambahkan maka semakin banyak jumlah mikroba yang memecah karbohidrat menjadi glukosa, alkohol, asam asetat dan asam-asam lain yang mudah menguap. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Simbolon (2008), menyatakan bahwa semakin lama fermentasi, maka kadar keasamannya semakin tinggi, sehingga pH yang dihasilkan semakin menurun atau rendah. Hanafi (2004), menambahkan bahwa kenaikan pH dapat disebabkan karena penambahan jumlah starter dan urea dalam pakan yang difermentasi.

3.3.      Amoniasi
            Berdasarka praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan  amoniasi sebagai berikut:
Tabel 3.Hasil Pengamatan Organoleptik Amoniasi

Kriteria
Minggu 0
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Skor
Tekstur
Liat seperti bahan asal
Liat seperti bahan asal

Agak remah
Remah
8
Warna
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Coklat tua
Coklat tua
8
Bau
Tidak berbau amoniak
Berbau amoniak menyengat

Amoniak menyengat
Amoniak menyengat
9
Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
8
Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
8
Ph
5,29
8,89
9,08
9,25
9
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2015.

3.3.1.  Tekstur
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan pada tekstur amoniasi yaitu pada minngu ke 0 yaitu tekstur liat seperti bahan asal, minggu ke I dengan tekstur liat seperti bahan asal, minggu ke II dengan tekstur agak remah, dan minggu ke III dengan tekstur remah. Teksturnya remah karena urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk melepaskan ikatan-ikatan lignin, selulosa, dan silika yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna sekam bagi ternak karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Andoko dan Wasito (2013), yang menyatakan bahwa dalam proses amoniasi akan mengubah tekstur bahan pakan yang semula keras berubah menjadi lunak dan rapuh. Tujuan dari proses amoniasi selain meningkatakan kualitas pakan juga bertujuan untuk meningkatkan daya cerna ternak. Menurut Sodiq dan Abidin (2008), bahwa proses amoniasi pakan dapat mempercepat proses pencernaan bahan pakan didalam rumen.

3.3.2.  Warna
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan yaitu minggu ke 0 silase berwarna kuning kecoklatan, minggu ke I yaitu kuning kecoklatan, minggu ke II yaitu coklat tua dan minggu ke III yaitu coklat tua. Perubahan warna kuning kecoklatan menjadi coklat tua menunjukkan bahwa terjadi proses amoniasi yang baik. Perubahan warna tersebut karena pembuatan amoniasi dalam keadaan anaerob menghasilkan CO2 dan panas. Panas tersebut menyebabkan perubahan warna pada pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Andoko dan Wasito (2013), yang menyatakan bahwa proses amoniasi mengubah warna pakan yang semula warnanya kuning kecoklatan menjadi coklat tua. Akhadiarto dan Fariani (2012), menyatakan bahwa urea berfungsi untuk melonggarkan ikatan-ikatan lignin, selulosa dan silika yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami bagi ternak.

3.3.3.   Bau
            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pengamatan awal yaitu tidak berbau amoniak, minggu ke I berbau amonia menyengat, minggu ke II yaitu amoniak meyengat, dan minggu ke III yaitu  amonia menyengat. Aroma amonia dari minggu ke 0 sampai minggu  ke III bertambah. Sekam disimpan dalam keadaan anaerob sehingga tidak ada pergantian udara di dalam plastik membuat suasana menjadi basa. Suasana basa mengakibatkan terjadi proses ureolisis yaitu proses penguraian urea menjadi amonia oleh enzim urease, sehingga menghasilkan bau amonia yang menyengat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsih et al. (2007), yang menyatakan bahwa dalam proses amoniasi pakan akan menghasilkan gas amonia.                       Andoko dan Wasito (2013), menyatakan bahwa sebelum diberikan kepada ternak pakan yang di amoniasi diangin-anginkan selama 1-2 jam untuk mengurangi bau amonia.



3.2.4.  Jamur

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan yaitu minggu ke 0 tidak ada jamur, minggu ke I tidak ada, minggu ke II tidak ada, dan minggu ke III tidak ada. Hasil amoniasi ini menunjukkan kualitas amoniasi yang baik karena tidak terdapat jamur dalam pakan yang dipengaruhi oksigen yang tidak terdapat dalam plastik. Pembungkusan yang baik atau padat dan rapat menyebabkan suasana anaerob pada plastik, sehingga jamur tidak dapat tumbuh di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat                                                 Akhadiarto dan Fariani (2012), yang menyatakan bahwa agar mendapatkan hasil amoniasi yang berkualitas diperlukan pemadatan bahan pakan agar kondisi anaerob. Andoko dan Warsito (2013), menyatakan bahwa poses amoniasi yang baik yaitu dengan menutup rapat bahan pakan yang telah dicampur urea kurang lebih selama empat minggu.

3.2.5.  Penggumpalan


Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan yaitu minggu ke 0 yaitu tidak ada penggumpalan, minggu ke I tidak ada penggumpalan, minggu ke II tidak ada penggumpalan, dan minggu ke III tidak ada penggumpalan. Hasil amoniasi ini menunjukkan kualitas yang baik karena tidak terdapat jamur dalam pakan. Hal ini dikarenakan dalam proses pembuatan amoniasi, silase disimpan dalam keadaan anaerob yang menyebabkan tidak dapat tumbuhnya jamur atau mikroba aerob sehingga tidak terjadi penggumpalan. Hal ini sesuai dengan pendapat Zailzar et al. (2011), yang menyatakan bahwa proses pengolahan bahan pakan yang baik yaitu ditandai dengan tidak adanya jamur dan penggumpalan. Sianipar dan Simanihuruk (2009), menyatakan bahwa penggumpalan terjadi karena pemadatan bahan yang kurang sempurna sehingga masih terdapat udara untuk mikroba hidup.

3.3.6.   pH
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pH amoniasi pada awal pengamatan yaitu 5,29, minggu I yaitu pH 8,89, minggu ke II yaitu pH 9,08, dan minggu ke III pH 9,25. pH dari minggu ke minggu semakin tinggi atau bersifat basa. Hal ini dikarenakan tidak adannya pergantian udara dalam plastik yang menyebabkan suasana menjadi basa sehingga pH meningkat. Suasana basa diakibatkan karena proses penguraian urea menjadi gas amonia.Hal ini sesuai dengan pendapat Febrina (2006), yang menyatakan bahwa proses amoniasi akan meningkatkan pH pada pakan. Menurut Haris (2012), bahwa bahan pakan yang diamoniasi dalam keadaan anaerob, urea akan diurai menjadi amonia yang menyebabkan peningkatan Ph.





DAFTAR PUSTAKA
Akhadiarto, S. dan A. fariani. 2012. Evaluasi kecernaan rumput kuamai minyak (Hymeanachne amplexicaulis) amoniasi secara in vitro. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 14 (1) : 50 – 55.

Andoko, A. dan Warsito. 2013. Beternak Kambing Unggul. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Febrina, D. 2006. Karakteristik kondisi rumen sapi pesisir selatan dengan ransum jerami padi amoniasi urea. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Universitas Islam Negeri Sultan Syarifkasim, Riau.

Gustiani, E. I. Nurhati, dan Y. Haryati. 2007. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Dalam Sistem Usahatani Tanaman Ternak. Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman – Ternak.

Haris, M. 2012. Evaluasi kecernaan lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai pakan sumber protein bypass dengan ransum berbahan dasar jerami padi amoniasi secara in-vitro. Universtas Andalas, Padang. (TESIS)

Hermanto. 2011. Konsep pengembangan  peternakan,  menuju perbaikan  ekonomi  rakyat  serta meningkatkan  gizi  generasi  mendatang melalui  pasokan  protein  hewani  asal peternakan. Sekilas Agribisnis Peternakan Indonesia.

Hidayat, N. 2014. Karakteristik dan Kualitas Silase Rumput Raja Menggunakan Berbagai Sumber dan Tingkat Penambahan Karbohidrat Fermentable. Jurnal Agribisnis Peternakan. 14 (1) : 42-49.

Kunaepah, U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Dan Konsentrasi Glukosa Terhadap Aktivitas Antibakteri, Polifenol Total Dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Merah. Universitas Diponegoro, Semarang. (TESIS)

Kushartono, B. dan N. Iriani. 2005. Silase tanaman jagung sebagai pengembangan sumber pakan ternak. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, Bogor.

Lado, L. 2007. Evaluasi Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum Sudanense) Pada Penambahan Berbagai Macam Aditif Karbohidrat Mudah Larut.  Pasca sarjana Program studi ilmu peternakan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (TESIS)

Munier, F. F., H. Hartadi, and E. Winarti. 2012. Cocoa Pod Husk Fermentation Using Aspergillus Niger Toward Intake Of Ettawa Grade Buck. International Conference On Livestock Production And Veterinary Technology. 152-158.

Prabowo, A., Susanti A. E., dan Karman J. 2013. Pengaruh penambahan bakteri asam laktat terhadap pH dan penampilan fisik silase jerami kacang tanah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Santoso, B., B. T. J. Hariadi, H. Hanik, dan H. Abubakar. 2010. Nilai nutritif dan kecernaan nutrien  in vitro silase rumput raja yang  ditambahkan  bakteri asam laktat  indigenous rumput dan tanin daun akasia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Santoso, B., B.T. Hariadi, Alimudin dan D.Y. Seseray. 2011. Kualitas fermentasi dan nilai nutrisi silase berbasis sisa tanaman padi yang diensilase dengan penambahan inokulum bakteri asam laktat eplifit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 16 (1) : 1-8.

Sianipar, J.  dan K. Simanihuruk. 2009. Performans Kambing Sedang Tumbuh Yang Mendapat  Pakan Tambahan Mengandung  Silase Kulit Buah Kakao. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Sumatera Utara.

Simbolon, K. 2008. Pengaruh Persentase Ragi Tape Dan Lama Fermentasi Terhadap Mutu Tape Ubi Jalar. Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. (SKRIPSI)

Sodiq, A. dan Z. Abidin.2008. Meningkatakan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sumarsih, S., C. I. Sutrisno, dan E. Pangestu. 2007. Kualitas nutrisi dan kecernaan daun eceng gondok amoniasi yang difermentasi dengan trichoderma viride pada berbagai lama pemeraman secara in vitro. Journal Indonesian Tropical Animal Agriculture. 32 (4) : 257-261.

Sumarsih, Sri, T. Yudiarti, C.S.Utamar, E.S. Rahayu dan E. Harmayani. 2009. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat Pada Caecum Ayam Daging. Jurnal Kesehatan, 2 (I) : 1-5

Supriyantono, A. dan B. Santoso. 2010. Introduksi Pakan Silase Pada Peternak di UKM Karya Bersatu dan Pondok Pesantren Darussalam Kampung Aimasi. Jurusan Petemakan FPPK UNIPA, Papua.

Utami, L.I. 2008. Pengambilan minyak kelapa dengan proses fermentasi menggunakan Scharomyces cerevicerae amobil. Jurnal Penelitian Ilmu Ternak. 8 (2) : 86-95.

Vidianto, D. dan F. Emil. 2011. Penanggulangan pencemaran lingkungan silase dari limbah organic pasar sebagai alternative pakan ruminansia. Program kreativitas mahasiswa. Institute Pertanian Bogor, Bogor.

Wachid M. 2011. Potensi Bioethanol dari Limbah Kulit Ari Kedelai Limbah Produksi Tempe. Universitas Gajah Mada, 6 (2) : 113-122.

Wisnu, A. 2011. Pengaruh Kadar Air Rumput Gajah Sebagai Sumber Serat Pakan Lengkap Terhadap Nilai Nutrisi Dan Kondisi Fisik. Jurusan Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Universitas Brawijaya, Malang. (SKRIPSI)

Zailzar,  L., Sujono, Suyatno, dan  A. Yani. 2011.Peningkatan kualitas dan ketersediaan pakan untuk mengatasi kesulitan di musim kemarau pada kelompok peternak sapi perah. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Malang.




LAMPIRAN
Lampiran 1.   Perhitungan KA Silase

         KA yang dibutuhkan     =  
                                   70%      =    
                      0,7 (300 + a)     =     (0,8 x 300 gram) + a
                          210 + 0,7a     =     240 + a
                                 0,7a - a   =     240 - 210 ml
                                   -0,3a     =     30 ml
                                         a     =    -100  ml
Nilai a = -100 maka tidak dibutuhkan penambahan air dalam pembuatan silase karena kadar air dalam rumput lapang sudah tinggi.



















Lampiran 2. Perhitungan KA dan  Biostarter Amoniasi
Ø  KA yang dibutuhkan  =  
                                     70%    =    
                        0,7 (300 + a)    =     (15% x 300) + a
                                    0,3 a    =     165
                                          a                =     550 ml
Ø  KA yang dibutuhkan  =   
                         40%    =    
            0,4 (300 + b)   =    (0,15 x 300) + b
              120 + 0,4 b    =     45 + b
                        0,6 b    =     75
                              b    =     125 ml
v  Penambahan Air          =  a – b
                                    =  550 – 125
                                    =  425 ml
v  Biostarter                    =  2% x 300
                                    =  6 gram







Lampiran 3. Perhitungan KA , Biostarter, dan Urea Fermentasi
Ø  KA yang dibutuhkan  =  
                                     70%    =    
                        0,7 (300 + a)    = (15% x 300) + a
                                    0,3 a    = 165
                                          a                = 550 ml
Ø  Biostarter                    = 2% x 300
                                    = 6 gram
Ø  Urea                            = 2% x 300
                                    = 6 gram


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar