BAB
I
PENDAHULUAN
Pengolahan
pakan merupakan suatu kegiatan
untuk mengubah bahan pakan tunggal menjadi bahan pakan baru atau pakan olahan.
Bahan pakan baru yang dihasilkan dari proses pengolahan diharapkan mengalami
peningkatan kualitas bahan pakan serta berupaya meningkatkan kandungan nutrisi
tersebut dengan beberapa perlakuan, seperti silase, amoniasi, fermentasi maupun
gabungan antara amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi dengan penggunaan urea
yaitu sebagai sumber amoniak yang dicampurkan ke dalam bahan. Urea dalam proses
amoniasi berfungsi untuk menghancurkan ikatan-ikatan lignin, selulosa dan
silika yang terdapat pada bahan pakan. Silase dengan menggunakan teknologi
silase merupakan suatu proses fermentasi mikroba merubah pakan menjadi meningkat
kandungan nutrisinya (protein dan energi) dan disukai ternak karena rasanya
relatif manis dan dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama dan fermentasi
merupakan proses anaerob (tanpa bantuan oksigen) untuk mengawetkan bahan
pakan.
Tujuan dari praktikum Teknologi
Pengolahan Pakan adalah mampu membuat awetan hijauan segar seperti silase,
amoniasi, fermentasi, dan amofer serta mampu memilih bahan-bahan yang bisa
dibuat awetan hijauan segar. Manfaat yang dapat diambil yaitu dapat mengimplementasikan
secara langsung
di kehidupan sehari-hari serta mampu menilai kualitas bahan segar awetan dan
pengolahan yang baik.
BAB
II
MATERI
DAN METODE
Praktikum
Tekonogi Pengolahan Pakan dengan materi silase, amoniasi dan fermentasi
dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 6 April 2015 pukul 07.00 – 09.00 WIB.
Praktikum dengan materi amoniasi fermentasi dilakukan pada hari Senin, 27 April
2015 pukul 07.00-09.00 WIB, bertempat di Laboratorium Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
2.1.
Materi
Bahan
yang digunakan dalam praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dengan materi silase,
amoniasi, fermentasi dan amofer yaitu rumput lapang sebagai bahan pakan yang
diolah secara silase, sekam sebagai bahan pakan yang diolah secara amoniasi,
fermentasi dan amoniasi fermentasi, air yang digunakan sebagai campuran dalam
proses amoniasi fermentasi, molases sebagai bahan pengawet sumber karbohidrat,
urea dan biostater sebagai bahan tambahan untuk proses amoniasi dan fermentasi.
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum yaitu pisau dan gunting yang digunakan
untuk memotong bahan pakan, timbangan untuk menimbang bahan pakan, nampan
sebagai wadah bahan pakan dan sebagai alas saat mencampur bahan pakan, plastik
sebagai tempat untuk pemeraman, lakban untuk merekatkan bahan pakan yang sudah
didalam plastik, pH digital yang digunakan untuk mengukur pH pakan, label yang
digunakan untuk memberikan tanda pada
plastik dan alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.
2.2.
Metode
2.2.1.
Silase
Metode dalam pembuatan
silase yaitu dengan memotong bahan pakan yaitu rumput lapang. Menimbang bahan
pakan yang sudah dipotong sebanyak 300 gram. Menambahkan zat aditif berupa
molases yang sebelumnya telah dihitung jumlahnya. Mencampur bahan pakan dengan
molases sampai homogen. Membagi campuran molases dan bahan pakan menjadi 3
bagian. Melakukan uji organoleptik yang meliputi bau, warna, tekstur dan pH.
Memasukan bahan tersebut dalam plastik. Memadatkan dan membungkusnya dengan
solasi sehingga tidak ada udara yang masuk. Memberi label dan mencatat hasil
uji organoleptik. Melakukan Uji organoleptik setiap 1 minggu sekali sampai
minggu ke III dan mencatat hasil pengamatan. Pengamatan yang terakhir pada
hasil pengamatan dalam tabel serta melakukan perhitungan total skor kualitas
silase dan mencatat pada buku.
2.2.2.
Amoniasi
Metode
dalam pembuatan amoniasi dengan bahan pakan sekam yaitu mengambil sekam dan
meletakkan di nampan. Menimbang sekam tersebut sebanyak 600 gram. Melarutkan
urea yang telah dihitung jumlahnya yaitu sebanyak 26 gram dalam air.
Mencampurkan sekam dengan larutan urea sampai homogen. Melakukan uji
organoleptik meliputi bau, warna, tekstur dan pH. Membagi campuran sekam
tersebut menjadi 6 bagian dan memasukkan dalam plastik. Membungkusnya dengan
solasi sehingga tidak ada udara yang masuk. Memberi label dan melakukan uji
organoleptik setiap 1 minggu sekali selama 3 minggu. Mencatat hasil pengamatan.
Pengamatan terakhir melakukan perhitungan total skor kualitas amoniasi.
2.2.3.
Amoniasi Fermentasi
Metode dalam praktikum pengolahan
bahan pakan dengan cara amoniasi fermentasi yaitu membuka 3 bungkus sekam yang
telah melalui proses amoniasi dan meletakkan diruangan terbuka agar bau
amoniaknya sedikit hilang. Menghitung jumlah air yang harus ditambahkan dan
mencampur. Menimbang molases sebanyak 15 gram. Menimbang biostater sebanyak 6
gram. Mencampur urea biostater dan molases. Mencampurkan sekam dengan campuran
urea air dan molases sampai homogen. Melakukan uji organoleptik yang meliputi
bau, warna, tekstur dan pH. Mencatat hasil uji organoleptik dalam tabel.
Membagi campuran jerami padi tersebut menjadi 3 dan memasukkannya dalam kantong
plastik. Memadatkan hingga tidak ada udara yang masuk dan membungkusnya dengan
solasi. Memberi label pada masing-masing kantong plastik. Melakukan uji
organoleptik setiap 1 minggu sekali selama 3 minggu dan mencatat hasil
pengamatan, dan pada pengamatan terakhir melakukan perhitungan total skor
kualitas.
2.2.4.
Fermentasi
Metode dalam pengolahan
bahan pakan secara fermentasi adalah dengan memotong bahan pakan, menimbang
bahan pakan yaitu sekam sebanyak 300 gram dan mengambil air 550 ml. Menambahkan
6 gram molases dan 6 gram biostater. Mencampur secara rata sehingga homogen.
Membagi menjadi 3 bagian. Melakukan uji organoleptik yang meliputi warna, tekstur, bau dan pH. Mencatat hasil uji
organoleptik dalam tabel. Memasukkan dalam kantong plastik. Memadatkan sehingga
tidak ada udara yang masuk dan membungkusnya dengan solasi. Memberi label pada
setiap plastik. Melakukan uji organoleptik setiap 1 minggu sekali selama 3
minggu dan pada pengamatan terakhir dilakukan perhitungan total skor kualitas
fermentasi. Mencatat hasil pengamatan.
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1.
Silase
Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah dilakukan hasil pengamatan silase disajikan pada
tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil
Pengamatan Organoleptik Silase
Kriteria
|
Minggu 0
|
Minggu I
|
Minggu II
|
Minggu III
|
Skor
|
Tekstur
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Lembek
|
4
|
Warna
|
Tampak
warna hijauan
|
Hijau seperti
daun direbus
|
Hijauan
kecoklatan
|
Hijauan seperti
daun direbus
|
6
|
Bau dan rasa
|
Sedang
|
Busuk dan
merangsang
|
Busuk dan
merangsang
|
Busuk dan
merangsang
|
3,25
|
Jamur
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
5
|
Penggumpalan
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada tepi
|
Ada tepi
|
6
|
pH
|
6,03
|
5,68
|
6,54
|
6,57
|
1
|
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi
Pengolahan Pakan, 2015.
3.1.1.
Tekstur
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil pada minggu ke 0 bertekstur sedang, minggu ke I silase memiliki tekstur
sedang, minggu ke II sedang, dan minggu III tekstur
silase mengalami perubahan menjadi lembek. Hal ini menunjukkan bahwa silase
memiliki tekstur yang kurang baik. Perubahan tekstur pada silase rumput
lapang dapat disebabkan karena kadar air hijauan pada saat dibuat silase masih
cukup tinggi, atau juga pemadatan yang kurang sehingga jamur dapat tumbuh di
dalam silase dan membuat tekstur menjadi lembek. Hal ini sesuai dengan pendapat
Prabowo et al. (2013), yang
menyatakan bahwa tekstur yang dihasilkan pada silase lembek dapat dipengaruhi
oleh pemadatan yang kurang dan kandungan air dalam tanaman pakan masih tinggi
saat digunakan. Vidianto dan Emil (2011), menyatakan bahwa ada
tiga faktor yang berpengaruh dalam
pembuatan silase, yaitu jenis hijauan yang cocok dibuat silase, penambahan zat
aditif untuk dapat meningkatkan kualitas silase, dan kadar air yang tinggi,
yang dapat berpengaruh besar dalam pembuatan silase.
3.1.2.
Warna
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil yaitu warna silase pada minggu
ke 0 yaitu tampak warna hijauan, minggu ke I yaitu hijau seperti daun direbus,
minggu ke II yaitu hijau kecoklatan, dan pada minggu ke III warnanya hijau
seperti daun direbus. Perubahan warna hijauan menjadi hijau seperti daun
direbus menunjukan bahwa silase tidak baik. Perubahan warna yang terjadi karena
pada tanaman mengalami proses ensilase yang
disebabkan karena proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan
oksigen masih ada, sampai gula yang terkandung dalam tanaman habis. Gula akan
teroksidasi menjadi CO2, air dan panas, sehingga temperatur naik.
Temperatur yang tinggi menyebabkan silase akan berwarna coklat tua sampai
berwarna hitam. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo et al. (2013), yang menyatakan bahwa temperature yang tidak
terkendali menyebabkan warna berubah menjadi coklat tua sampai kehitaman dan
menyebabkan turunnya nilai pakan karena banyak sumber karbohidrat yang hilang
dan kecernaan protein turun. Hidayat (2014), menyatakan bahwa warna silase yang
baik adalah coklat terang kekuningan dengan bau asam.
3.1.3.
Bau
Berdasarkan
pengamatan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu bau silase
pada minggu ke 0 sedang, minggu ke I, minggu ke II dan minggu ke III bau silase
berubah menjadi busuk dan merangsang. Hal ini menunjukkan bahwa silase yang
dihasilkan mempunyai kualitas yang kurang baik. Perubahan bau dari sedang
menjadi busuk dan merangsang disebabkan karena pemadatan yang kurang sehingga
masih terdapat rongga udara didalamnya. Udara dalam plastik akan digunakan
tanaman pakan untuk respirasi yang menghasilkan panas sehingga terjadi
penguapan. Penguapan menyebakan terjadinya penggumpalan dan jamur yang membuat
aroma menjadi busuk. Bau busuk pada silase juga dapat disebabkan karena
aktifitas mikroba yang berlebihan sehingga menghasilkan bau yang tidak enak. Hal
ini sesuai dengan pendapat Wisnu (2009), yang menyatakan
bahwa bau busuk pada silase disebabkan
oleh mikroba berlebih yang dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunanya
menjadi alkohol, asam dan CO2 dan mikroba preotelik dapat memecah
protein dan komponen-komponen nitrogen lainya sehingga menghasilkan bau busuk
yang tidak diinginkan. Vidianto dan Emil (2011), menambahkan bahwa ciri silase
yang baik adalah memiliki rasa dan bau asam tetapi segar dan enak.
3.1.4.
Jamur
Berdasarkan
pengamatan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pada
pengamatan minggu ke 0 terdapat jamur,
minggu I tidak terdapat jamur, dan
minggu ke III terdapat jamur di
tepi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase kurang baik. Adanya jamur pada silase disebabkan karena
adanya ruang udara pada plastik. Adanya udara dapat disebabkan karena pemadatan
yang kurang sempurna sehingga jamur dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat
Prabowo et al. (2013), yang menyatakan bahwa Jamur dapat
tumbuh karena terdapat udara dalam silo yang dapat disebabkan karena pada proses pemadatannya kurang
sempurna atau karena ada kebocoran dalam silo.
Supriyantono dan Santoso (2010), menyatakan bahwa proses pemadatan silase yang
baik dapat dilihat dari banyak sedikitnya jamur pada silase.
3.1.5.
Penggumpalan
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pada pengamatan minggu
ke 0 tidak terdapat penggumpalan, minggu ke I tidak terdapat penggumpalan,
minggu ke II terdapat penggumpalan, dan minggu
ke III terdapat penggumpalan pada daerah sekitar jamur.
Penggumpalan pada silase menunjukan bahwa silase rumput lapang kurang baik
karena dimungkinkan adanya rongga udara pada silase. Rongga udara dimanfaatkan
tanaman untuk respirasi yang menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan menyebabkan
pengembunan pada plastik, sehingga terjadi penggumpalan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lado (2007), yang
menyatakan bahwa penggumpalan
disebabkan karena pemadatan
yang kurang sempurna.
Sianipar dan Simanihuruk (2009), menyatakan bahwa kerusakan (menggumpal)
terjadi karena pemadatan bahan yang kurang sempurna sehingga masih terdapat
udara yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme aerob untuk beraktifitas.
3.1.6.
pH
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa pada pengamatan minggu ke
0 silase rumput lapang memiliki pH 6,03, minggu ke I dengan
pH 5,68, minggu ke II
dengan pH 6,54, dan minggu ke III dengan
pH 6,57. Hasil ini menunjukan bahwa silase rumput lapang kurang baik sebab
silase yang baik bersifat asam
dengan pH berkisar antara 3-5. Bersifat asam karena bakteri dalam silase
akan menghasilkan asam laktat, sehingga pH silase turun atau menjadi asam. Hal
ini sesuai dengan pendapat Hermanto (2011), bahwa silase
yang baik berkisar pada pH 4,3 - 4,4 sedangkan silase yang tidak baik pH
berkisar lebih dari 4,4. Santoso (2010), menyatakan
bahwa peningkatan bakteri asam laktat menyebabkan meningkatnya konsentrasi asam
laktat dan menurunnya pH.
3.2.
Fermentasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan
fermentasi disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Fermentasi
Kriteria
|
Minggu 0
|
Minggu I
|
Minggu II
|
Minggu III
|
Skor
|
Tekstur
|
Agak remah
|
Agak remah
|
Remah
|
Remah
|
7-9
|
Warna
|
Kuning Kecoklatan
|
Kuning Kecoklatan
|
Kuning Kecoklatan
|
Kuning Kecoklatan
|
4-6
|
Bau
|
Asam
|
Asam
|
Amonia
|
Amonia
|
1-3
|
Jamur
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
7-9
|
Penggumpalan
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
7-9
|
pH
|
5,25
|
8,45
|
8,14
|
8,65
|
7-9
|
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi
Pengolahan Pakan, 2015.
3.3.1. Tekstur
Berdasarkan hasil praktikum
yang telah dilakukan dalam pembuatan fermentasi sekam diketahui perubahan
tekstur dari minggu ke 0,
sampai dengan minggu ke IV sampel mengalami perubahan warna dari agak remah
menjadi remah. Hal ini menunjukkan bahwa hasil fermentasi pakan yang baik.
Perubahan tekstur menjadi remah dikarenakan didalam pakan terjadi proses
fermentasi yang merombak sekam yang bertekstur keras secara fisik menjadi
lebih lunak sehingga mempermudah daya cerna ternak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gustiani et al. (2007), yang menyatakan bahwa
ciri-ciri dari fermentasi pakan yang baik yaitu memiliki tekstur yang lunak dan
tidak kaku. Perubahan tekstur pada proses fermentasi juga dapat dipengaruhi
oleh mikroorganisme
pemecah ikatan lignoselulosa. Munier et
al. (2012), menyatakan bahwa penambahan mikroorganisme dalam fermentasi menyebabkan
pemutusan rantai ikatan lignoselulosa yang memiliki kemampuan memecah serat dan
memperkaya protein.
3.3.2. Warna
Berdasarkan hasil praktikum yang
telah dilakukan dalam pembuatan fermentasi sekam diketahui perubahan warna dari
minggu ke 0 sampai dengan minggu ke
III sampel tidak mengalami perubahan warna yaitu tetap kuning kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas
fermentasi pakan baik. Perubahan
warna pada pakan yang difermentasi diakibatkan karena lama penyimpanannya,
semakin lama penyimpanan warna akan berubah. Selain itu warna pada pakan yang
difermentasi dipengaruhi oleh oksigen dalam plastik yang disebabkan karena
proses pemadatan yang kurang sempurna. Bila terdapat oksigen dalam pakan yang
difermentasi maka jamur akan tumbuh dan menyebabkan perubahan warna menjadi
coklat sampai hitam. Hal ini sesuai dengan pendapat Gustiani et al. (2007), yang menyatakan bahwa
ciri-ciri dari fermentasi yang baik yaitu memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut Bekti dan Sugandi (2005), yang menyatakan bahwa perubahan warna pada pakan
dapat dipengaruhi oleh lama fermentasi.
3.3.3. Bau
Berdasarkan hasil praktikum
yang telah dilakukan dalam pembuatan fermentasi sekam diketahui pada minggu ke
0 berbau asam, minggu ke I
berbau asam, minggu ke II
berbau amonia dan minggu ke III
berbau amonia. Hasil fermentasi ini termasasuk kurang baik. Fermentasi pakan
yang baik memiliki bau yang asam. Bau amonia pada proses fermentasi yang
diakukan dapat disebabkan karena penambahan urea dalam pakan yang difermentasi.
Urea dalam pakan akan mengalami proses ureolisis
yaitu proses penguraian urea menjadi amonia, sehingga menyebabkan aroma bau
pada pakan yang difermentasi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gustiani et
al. (2007), yang menyatakan
bahwa hasil fermentasi yang baik akan memiliki bau asam dan harum yang
menyerupai bau tape. Sumarsih (2011), menyatakan bahwa penambahan urea pada bahan pakan dapat menghasilkan gas
amonia.
3.3.4. Jamur
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa tidak terdapat pertumbuhan jamur
dari pengamatan minggu ke 0 sampai dengan minggu ke III. Hasil ini termasuk fermentasi baik karena tidak terdapat jamur dalam plastik. Hal
ini dipengaruhi karena penyimpanan bahan pakan yang
difermentasi dalam keadaan anaerob, sehingga jamur tidak bisa tumbuh
karena oksigen dalam proses fermentasi digunakan
untuk jamur tumbuh. Menurut Kunaepah (2008), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi fermentasi dapat terjadi secara optimal yaitu antara
lain substrat, suhu, pH, oksigen, dan mikroba yang digunakan. Menurut Simbolon (2008), menyatakan bahwa dalam proses fermentasi
udara yang masuk justru akan menumbuhkan jamur dan hendaknya fermentasi
dilakukan dalam kondisi anaerob.
3.3.5. Penggumpalan
Berdasarkan hasil praktikum pembuatan
fermentasi pada sekam diperoleh hasil yaitu minggu ke 0 sampai minngu ke III tidak
terdapat penggumpalan dalam plastik. Hasil fermentasi ini baik karena tidak terdapat penggumpalan dalam plastik. Hal ini disebabkan karena
dalam pakan yang di fermentasi tidak terdapat oksigen yang digunakan jamur
untuk tumbuh. Tidak andanya jamur yang tumbuh dalam pakan menyebabkan
penggumpalan tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Utami (2008),
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi fermentasi meliputi suhu, pH, oksigen
dan waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsih et al. (2009), yang
menyatakan bahwa penggumpalan merupakan pembentukan gel asam amino yang
merupakan komponen sederhana sebagai penyusun protein yangt dibantu dengan adanya udara dari luar.
3.3.6.
pH
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh data
pengamatan bahwa hasil fermentasi pH pada minggu ke 0 sebesar 5,25 ,
mingguke I
sebesar 8,45 ,minggu ke II turun
menjadi 8,14 ,dan pada minggu ke III naik menjadi 8,65. Proses fermentasi
yang dilakukan pada praktikum ini
menghasilkan pH yang tinggi dengan kondisi basa. Proses fermentasi yang dihasilkan ini
kurang baik dimana memiliki pH basa. Kondisi pH dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu persentase pemberian starter dan urea serta lama
fermentasi yang dilakukan pada bahan pakan.
Semakin banyak starter yang ditambahkan maka semakin banyak jumlah mikroba yang
memecah karbohidrat menjadi glukosa, alkohol, asam asetat dan asam-asam lain
yang mudah menguap. Hal ini tidak
sesuai dengan pendapat Simbolon (2008), menyatakan bahwa semakin lama
fermentasi, maka kadar keasamannya semakin tinggi, sehingga pH yang dihasilkan
semakin menurun atau rendah.
Hanafi (2004),
menambahkan bahwa kenaikan pH dapat disebabkan karena penambahan jumlah starter
dan urea dalam pakan yang difermentasi.
3.3. Amoniasi
Berdasarka praktikum yang telah
dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan
amoniasi sebagai berikut:
Tabel 3.Hasil
Pengamatan Organoleptik Amoniasi
Kriteria
|
Minggu 0
|
Minggu I
|
Minggu II
|
Minggu III
|
Skor
|
Tekstur
|
Liat seperti bahan asal
|
Liat seperti bahan asal
|
Agak remah
|
Remah
|
8
|
Warna
|
Kuning
kecoklatan
|
Kuning
kecoklatan
|
Coklat
tua
|
Coklat
tua
|
8
|
Bau
|
Tidak berbau amoniak
|
Berbau amoniak menyengat
|
Amoniak menyengat
|
Amoniak menyengat
|
9
|
Jamur
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
8
|
Penggumpalan
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
8
|
Ph
|
5,29
|
8,89
|
9,08
|
9,25
|
9
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2015.
3.3.1. Tekstur
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan pada tekstur
amoniasi yaitu pada minngu ke 0 yaitu
tekstur liat seperti bahan asal, minggu ke I
dengan tekstur liat seperti bahan asal, minggu ke II dengan tekstur agak
remah, dan minggu ke III
dengan tekstur remah. Teksturnya remah
karena urea
dalam proses amoniasi berfungsi untuk melepaskan ikatan-ikatan lignin, selulosa, dan silika
yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna sekam bagi ternak karena kandungan serat kasarnya yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Andoko dan Wasito
(2013), yang menyatakan bahwa
dalam proses amoniasi akan mengubah tekstur bahan pakan yang semula keras
berubah menjadi lunak dan rapuh. Tujuan dari proses amoniasi selain
meningkatakan kualitas pakan juga bertujuan untuk meningkatkan daya cerna
ternak. Menurut Sodiq dan Abidin (2008), bahwa proses amoniasi
pakan dapat mempercepat proses pencernaan bahan pakan didalam rumen.
3.3.2. Warna
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan yaitu minggu ke 0 silase berwarna kuning kecoklatan, minggu ke I yaitu kuning kecoklatan, minggu ke II yaitu coklat tua dan minggu ke III yaitu coklat tua. Perubahan warna kuning
kecoklatan menjadi coklat tua menunjukkan bahwa terjadi proses amoniasi yang
baik. Perubahan warna tersebut karena
pembuatan amoniasi dalam keadaan anaerob menghasilkan CO2 dan panas.
Panas tersebut menyebabkan perubahan warna pada pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Andoko dan Wasito
(2013), yang menyatakan bahwa proses amoniasi mengubah warna pakan yang semula
warnanya kuning kecoklatan menjadi coklat tua. Akhadiarto dan Fariani
(2012), menyatakan bahwa urea berfungsi untuk melonggarkan ikatan-ikatan lignin,
selulosa dan silika yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami
bagi ternak.
3.3.3. Bau
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pengamatan awal yaitu
tidak berbau amoniak, minggu ke I berbau amonia menyengat, minggu ke II yaitu amoniak meyengat, dan minggu ke III yaitu amonia menyengat. Aroma amonia dari minggu ke
0 sampai minggu ke III bertambah. Sekam disimpan dalam keadaan
anaerob sehingga tidak ada pergantian udara di dalam plastik membuat suasana menjadi basa. Suasana basa mengakibatkan
terjadi proses ureolisis yaitu proses
penguraian urea menjadi amonia oleh enzim urease, sehingga menghasilkan bau
amonia yang menyengat. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sumarsih et al. (2007), yang menyatakan bahwa
dalam proses amoniasi pakan akan menghasilkan gas amonia. Andoko dan Wasito
(2013), menyatakan bahwa
sebelum diberikan kepada ternak pakan yang di amoniasi diangin-anginkan selama
1-2 jam untuk mengurangi bau amonia.
3.2.4. Jamur
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan yaitu minggu ke 0 tidak ada jamur, minggu ke I tidak ada, minggu ke II tidak ada, dan minggu ke III tidak ada. Hasil amoniasi ini
menunjukkan kualitas amoniasi yang baik karena tidak terdapat jamur dalam pakan
yang dipengaruhi oksigen yang tidak terdapat dalam plastik. Pembungkusan
yang baik atau padat dan rapat menyebabkan suasana anaerob
pada plastik, sehingga jamur tidak dapat tumbuh
di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Akhadiarto dan Fariani (2012), yang menyatakan bahwa agar
mendapatkan hasil amoniasi yang berkualitas diperlukan pemadatan bahan pakan
agar kondisi anaerob. Andoko dan Warsito (2013), menyatakan bahwa poses amoniasi yang baik yaitu dengan menutup rapat bahan pakan yang
telah dicampur urea kurang lebih selama empat minggu.
3.2.5. Penggumpalan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan
diperoleh hasil pengamatan yaitu minggu ke 0 yaitu tidak ada penggumpalan,
minggu ke I tidak ada penggumpalan, minggu ke II tidak ada penggumpalan, dan
minggu ke III tidak ada penggumpalan. Hasil amoniasi ini menunjukkan kualitas
yang baik karena tidak terdapat jamur dalam pakan. Hal ini dikarenakan dalam
proses pembuatan amoniasi, silase disimpan dalam keadaan anaerob yang menyebabkan tidak dapat tumbuhnya
jamur atau mikroba aerob sehingga tidak terjadi penggumpalan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Zailzar et al. (2011), yang menyatakan bahwa proses pengolahan bahan
pakan yang baik yaitu ditandai dengan tidak adanya jamur dan penggumpalan. Sianipar
dan Simanihuruk (2009), menyatakan bahwa
penggumpalan terjadi karena pemadatan bahan yang kurang
sempurna sehingga masih terdapat udara untuk
mikroba hidup.
3.3.6. pH
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yaitu pH amoniasi pada awal
pengamatan yaitu 5,29, minggu
I yaitu pH 8,89, minggu ke II yaitu
pH 9,08, dan minggu ke III pH 9,25. pH dari minggu ke minggu
semakin tinggi atau bersifat basa.
Hal ini dikarenakan tidak adannya pergantian udara dalam plastik yang menyebabkan suasana menjadi basa sehingga pH
meningkat. Suasana basa diakibatkan karena proses
penguraian urea menjadi gas amonia.Hal ini sesuai dengan pendapat Febrina
(2006), yang menyatakan bahwa proses amoniasi akan meningkatkan pH pada pakan. Menurut Haris (2012), bahwa bahan pakan yang
diamoniasi dalam keadaan anaerob, urea akan diurai menjadi amonia yang
menyebabkan peningkatan Ph.
DAFTAR
PUSTAKA
Akhadiarto,
S. dan A. fariani. 2012. Evaluasi kecernaan rumput kuamai minyak (Hymeanachne
amplexicaulis) amoniasi secara in vitro. Jurnal
Sains dan Teknologi Indonesia, 14
(1) : 50 – 55.
Andoko, A. dan Warsito. 2013. Beternak
Kambing Unggul. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Febrina,
D. 2006. Karakteristik kondisi rumen sapi pesisir
selatan dengan ransum jerami padi amoniasi urea. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner. Universitas Islam Negeri
Sultan Syarifkasim, Riau.
Gustiani,
E. I. Nurhati, dan Y. Haryati. 2007. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan
Ternak Dalam Sistem Usahatani Tanaman Ternak. Lokakarya Nasional Pengembangan
Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman – Ternak.
Haris,
M. 2012. Evaluasi kecernaan
lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai
pakan sumber protein bypass dengan ransum berbahan dasar jerami padi amoniasi
secara in-vitro. Universtas Andalas, Padang. (TESIS)
Hermanto. 2011. Konsep pengembangan peternakan,
menuju perbaikan ekonomi rakyat
serta meningkatkan gizi generasi
mendatang melalui pasokan protein
hewani asal peternakan. Sekilas Agribisnis
Peternakan Indonesia.
Hidayat, N. 2014. Karakteristik dan Kualitas Silase
Rumput Raja Menggunakan Berbagai Sumber dan Tingkat Penambahan Karbohidrat Fermentable. Jurnal Agribisnis Peternakan. 14 (1) : 42-49.
Kunaepah,
U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Dan Konsentrasi Glukosa Terhadap Aktivitas
Antibakteri, Polifenol Total Dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Merah.
Universitas Diponegoro, Semarang. (TESIS)
Kushartono, B. dan N. Iriani. 2005. Silase
tanaman jagung sebagai pengembangan sumber pakan ternak. Prosiding
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, Bogor.
Lado,
L. 2007. Evaluasi
Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum Sudanense) Pada Penambahan Berbagai Macam
Aditif Karbohidrat Mudah Larut. Pasca
sarjana Program studi ilmu peternakan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
(TESIS)
Munier,
F. F., H. Hartadi, and E. Winarti. 2012. Cocoa Pod Husk Fermentation Using Aspergillus
Niger Toward Intake Of Ettawa Grade Buck. International Conference On Livestock Production And Veterinary
Technology. 152-158.
Prabowo, A., Susanti A. E., dan Karman J. 2013.
Pengaruh penambahan bakteri asam laktat terhadap pH dan penampilan fisik silase
jerami kacang tanah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Santoso, B., B. T. J. Hariadi, H. Hanik,
dan H. Abubakar. 2010. Nilai nutritif dan kecernaan nutrien in vitro silase rumput raja yang ditambahkan bakteri asam laktat indigenous rumput dan tanin daun akasia. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Santoso, B.,
B.T. Hariadi, Alimudin dan D.Y. Seseray. 2011. Kualitas fermentasi dan nilai
nutrisi silase berbasis sisa tanaman padi yang diensilase dengan penambahan
inokulum bakteri asam laktat eplifit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 16 (1) : 1-8.
Sianipar, J. dan K. Simanihuruk. 2009. Performans Kambing
Sedang Tumbuh Yang Mendapat Pakan
Tambahan Mengandung Silase Kulit Buah
Kakao. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Sumatera Utara.
Simbolon, K. 2008. Pengaruh Persentase
Ragi Tape Dan Lama Fermentasi Terhadap Mutu Tape Ubi Jalar. Departemen
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. (SKRIPSI)
Sodiq, A. dan Z. Abidin.2008.
Meningkatakan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Sumarsih,
S., C. I. Sutrisno, dan E. Pangestu. 2007. Kualitas nutrisi dan kecernaan daun
eceng gondok amoniasi yang difermentasi dengan trichoderma viride pada berbagai
lama pemeraman secara in vitro. Journal Indonesian Tropical Animal
Agriculture. 32
(4) : 257-261.
Sumarsih, Sri, T. Yudiarti, C.S.Utamar,
E.S. Rahayu dan E. Harmayani. 2009. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Asam
Laktat Pada Caecum Ayam Daging. Jurnal
Kesehatan, 2 (I) : 1-5
Supriyantono, A. dan B. Santoso. 2010. Introduksi Pakan Silase Pada Peternak di UKM Karya
Bersatu dan Pondok Pesantren Darussalam Kampung Aimasi. Jurusan Petemakan FPPK UNIPA, Papua.
Utami, L.I. 2008.
Pengambilan minyak kelapa dengan proses fermentasi menggunakan Scharomyces
cerevicerae amobil. Jurnal Penelitian Ilmu Ternak. 8 (2) : 86-95.
Vidianto, D. dan F. Emil. 2011. Penanggulangan
pencemaran lingkungan silase dari limbah organic pasar sebagai alternative
pakan ruminansia. Program kreativitas mahasiswa. Institute Pertanian Bogor,
Bogor.
Wachid M. 2011. Potensi Bioethanol dari Limbah Kulit
Ari Kedelai Limbah Produksi Tempe. Universitas Gajah Mada, 6 (2) : 113-122.
Wisnu, A. 2011. Pengaruh Kadar Air Rumput Gajah
Sebagai Sumber Serat Pakan Lengkap Terhadap Nilai Nutrisi Dan Kondisi Fisik.
Jurusan Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Universitas Brawijaya, Malang.
(SKRIPSI)
Zailzar, L.,
Sujono, Suyatno, dan A. Yani.
2011.Peningkatan kualitas dan ketersediaan pakan untuk mengatasi kesulitan di
musim kemarau pada kelompok peternak sapi perah. Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Malang.
LAMPIRAN
Lampiran
1. Perhitungan KA Silase
KA yang dibutuhkan =
70% =
0,7 (300 + a) = (0,8 x 300 gram) + a
210 + 0,7a = 240 + a
0,7a - a =
240 - 210 ml
-0,3a
= 30 ml
a
= -100
ml
Nilai a = -100 maka tidak
dibutuhkan penambahan air dalam pembuatan silase karena kadar air dalam rumput
lapang sudah tinggi.
Lampiran 2.
Perhitungan KA dan Biostarter Amoniasi
Ø KA
yang dibutuhkan =
70% =
0,7 (300 + a) =
(15% x 300) + a
0,3 a =
165
a
= 550 ml
Ø KA
yang dibutuhkan =
40% =
0,4 (300 + b) = (0,15 x 300) + b
120 + 0,4 b =
45 + b
0,6 b = 75
b =
125 ml
v Penambahan
Air = a – b
= 550 – 125
= 425 ml
v Biostarter = 2% x 300
= 6 gram
Lampiran 3.
Perhitungan KA , Biostarter, dan Urea Fermentasi
Ø KA
yang dibutuhkan =
70% =
0,7 (300 + a) = (15% x 300) + a
0,3 a = 165
a
= 550 ml
Ø Biostarter = 2% x 300
= 6 gram
Ø Urea = 2% x 300
= 6 gram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar